Pesan Pangeran Antasari : " Lamun tanah banyu kita kahada handak dilincai urang .... Jangan bacakut papadaan kita "
(Kalau tidak ingin tanah air kita diobrak - abrik orang .... Jangan bertengkar, apalagi berantam sesama kita)

URKIS, musik warisan Belanda.

Hari ini aku pelesiran ke laman You Tube. Di sana aku disuguhi sebuah pertunjukan kesenian rakyat warisan kolonial, namanya "Tanjidor".
Aku jadi teringat cerita orang tua, bahwa kampungku Onderafdeeling Barabai atau sekarang bernama kabupaten Hulu Sungai Tengah juga pernah diwariskan oleh kolonial Belanda kesenian serupa, namanya "Urkis", sebutan orang tua kita dahulu untuk kesenian itu. Diambil dari bahasa Belanda "Orkest" yang bermakma memainkan beberapa alat musik secara bersama atau berkelompok. Inilah pertama kalinya orang Barabai mengenal musik modern.
Alat-alat musik yang dimainkan dalam kesenian Urkis sama persis dengan yang dimainkan dalam Tanjidor. Sama-sama didominasi alat musik pukul dan tiup, seperti : drum, simbal, tambur, klarinet, terompet, trombon, sousaphone.

Tidak diketahui dengan pasti kapan urkis masuk ke Barabai, namun menurut cerita orang tua dulu, diperkirakan Urkis dibawa ke Barabai oleh orang Belanda pada saat berlangsungnya perang Banjar antara tahun 1859 hingga 1905.

Awalnya urkis hanya dimainkan di dalam benteng Barabai (Fort Barabai) sebagai penghibur dan penyemangat bagi tentara Belanda yang pulang dari medan perang. Setelah perang Banjar usai dan seiring dengan semakin kondusifnya keamanan kota Barabai, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan urkis ke masyarakat umum lewat event-event kemeriahan seperti pawai (optocht), Hari Ratu atau hari ulang tahun ratu Belanda (Koninginnedag), expo (jaarmarkt) hingga perayaan pergantian malam tahun baru (Oudejaarsavond). Kemudian kesenian urkis ini diadopsi oleh masyarakat sebagai kesenian rakyat untuk sarana hiburan, karnaval jalanan, memeriahkan pesta perkawinan, mengarak penganten hingga pemberi semangat pada pertandingan sepak bola.
Pasca kemerdekaan, terutama pada era tahun 1960an, kota Barabai sampai ke kecamatan kian marak kemasukan berbagai macam genre musik seperti Gambus, Melayu, Dangdut, pop dan lain-lain. Sehingga di Barabai pernah berdiri grub musik OG (Orkes Gambus) Assyikin yang musisinya kebanyakan orang-orang keturunan arab, OM (Orkes Melayu) Bunga Remaja, OM Putra Remaja dan beberapa grub amatir lainnya yang kebanyakan bergenre Dangdut Melayu.
Dengan kehadiran grub-grub musik tersebut lambat laun kesenian "Urkis" mulai terpinggirkan. Hanya sesekali tampil di publik pada saat hari kemerdekaan dan pawai atau bermain di "KUPAL" di saat ada pertandingan sepak bola. Dari sinilah di kemudian hari sebagian warga Barabai, terutama generasi yang lebih muda menyebut "urkis" menjadi "urkis kupal", hal ini untuk membedakan dengan orkes beraliran lainnya.
Perlu diketahui, kupal adalah sebuah panggung musik (muziektent) berbentuk kubah segi enam yang dibangun pada akhir tahun 1927 dan diresmikan pada malam pergantian tahun 1928. Bangunannya tidak begitu besar mirip seperti gazebo, menghadap lapangan sepak bola. Karena bentuknya inilah orang-orang Belanda lebih familiar menyebutnya dengan sebutan "KOEPEL" diambil dari bahasa Belanda yang berarti kubah. Penyebutan ini kemudian diikuti oleh masyarakat, namun pelafalannya bergeser menjadi "kupal". Hal ini bersesuaian dengan lidah dan dialek bahasa khas mereka "urang pahuluan".

Pada penghujung dekade tahun 1960an atau awal dekade 1970an bangunan kupal diroboh dan diganti dengan gedung MTQ. Sejak itulah "urkis" mulai jarang sekali terlihat tampil di publik hingga akhirnya punah.
***
Selain urkis ada satu lagi kesenian musik yang juga sudah punah (di Barabai) yang diwariskan orang-orang Belanda kepada warga Onderafdeeling Barabai, yaitu Keroncong (kerontjongorkest). Pemainnya campuran antara orang pribumi, Belanda dan Cina.
Berbeda dengan urkis yang biasa dipertontonkan di tengah khalayak ramai atau tempat-tempat terbuka, keroncong bersifat lebih eksklusif. Lantaran musik ini sering dimainkan di tempat-tempat tertutup seperti Barabai Restaurant, Societeit Barabai, pesanggrahan, kantor dan rumah-rumah pejabat pemerintah sebagai sarana hiburan di saat orang-orang Eropa/Belanda nongkrong santai bersama koleganya. Atau disuguhkan di saat mereka kedatangan tamu kehormatan.
Setelah Belanda hengkang dari tanah air, pada tahun 1950an di Barabai pernah berdiri sebuah grub musik keroncong bernama "SIMA". Namun musik jenis ini kurang diminati di masyarakat lantaran iramanya kurang cocok di telinga mereka. Ditambah dengan maraknya gempuran dari berbagai macam aliran musik lain, membuat musik keroncong mulai ditinggalkan dan akhirnya grub ini mati suri dan bubar.

Sumber foto :
Koleksi Digital universitas Leiden Belanda.
Fotonya diberi warna, yang aslinya hitam putih.

Lapangan Dwi Warna Barabai

Lapangan DWI WARNA Barabai.

Disaat kolonial Belanda berkuasa lapangan ini menjadi home base klub sepak bola BARABAISCHE VOETBAL BOND (Gabungan Sepak bola Barabai). Setelah kemerdekaan, Barabaische Voetbal Bond dirubah menjadi GASIB, kependekan dari GAbungan Sepak bola Indonesia Barabai. GASIB juga menjadikan lapangan ini sebagai home base-nya hingga stadion Murakata selesai dibangun.

Dahulu, sebelum kawasan ini dijadikan alun-alun kota dan lapangan sepak bola, di masa Perang Banjar, kawasan ini sebagiannya merupakan halaman Fort de Barabai (Benteng Barabai) yang dipakai salah satunya untuk mengeksekusi tawanan perang oleh kolonial Belanda, dengan cara digantung atau dipenggal leher.
***

Lapangan Dwi Warna adalah momok bagi kesebelasan lawan. Kesebelasan yang selevel dengan GASIB kalau bermain di lapangan ini sangat sulit untuk menang dan hampir dipastikan takluk, draw saja jarang.
Menurut cerita, di lapangan ini pernah bermain legendaris sepak bola Indonesia "Ramang" dengan klubnya PSM Makassar. Dalam pertandingan persahabatan itu, Gasib kalah dari PSM Makassar (skornya saya lupa). Cerita ini dituturkan oleh pemain belakang GASIB almarhum Acil Sapri yang ikut bertanding kala itu.

Serba-serbi saat pertandingan sepak bola di lapangan Dwi Warna.

1. Sejak masa kolonial Belanda hingga akhir dekade 1970, ketika ada pertandingan resmi sepak bola, sebelum pertandingan dimulai diadakan live musik tanjidor di "muziektent" (panggung musik) yang berada di taman bunga yang posisinya menghadap ke lapangan Dwi Warna. Muziektent tersebut oleh orang Barabai biasa disebut "kupal", berasal dari bahasa Balanda "koepel" yang berarti kubah. Ini lantaran bentuknya seperti kubah persegi enam.

Ketika terjadi gol, live musik kembali dimainkan, kali ini dengan ritme gegap gempita untuk memberi semangat kepada para pemain.

Setelah "kupal" dirobohkan dan diganti dengan gedung MTQ, live musik ditiadakan. Sebagai gantinya, diputarkan lagu "Halo-halo Bandung" lewat pengeras suara Toa ketika terjadi gol.

2. Penonton berdiri tepat di garis lapangan. Hal ini membuat pemain sayap lawan enggan menepi lapangan untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan. Pemain lawan sering diganggu konsentrasinya dan diolok-olok penonton, salah satunya dikatai "sudah kada harat main, kaus batis tinggi sabalah ha pulang".

3. Ketika pemain GASIB sulit membobol gawang lawan, maka ada yang teriak "kamihi gawangnya", maka disuruhlah anak-anak mengencinginya.
Demikian pula ketika pemain lawan tertangkap off side, ada yang teriak "bawa kalambu".

4. Lantaran terlalu keras tendangan pemain, sering kali bola jauh melenceng ke luar lapangan, hal itu membuat penonton teriak "jangan diambilakan balnya" dan terkadang bolanya tidak kembali lagi ke lapangan alias hilang.