Pesan Pangeran Antasari : " Lamun tanah banyu kita kahada handak dilincai urang .... Jangan bacakut papadaan kita "
(Kalau tidak ingin tanah air kita diobrak - abrik orang .... Jangan bertengkar, apalagi berantam sesama kita)

Legenda "KAPALA PITU".

Legenda "KAPALA PITU".

Sebuah cerita rakyat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, versi orang Belanda.
Oleh : C.W Schűller, seorang staf pegawai controleur Belanda yang pernah bertugas di salah satu onderafdeeling di Hoeloe Soengai.
*******
Dahulu kala di pegunungan Meratus ada seorang putri bernama "Putri Bungsu". Dia anak seorang kepala suku Dayak yang menikah dengan  "Datu Makar" dari kampung Panggungan Loksado. Dan dari pernikahannya mereka dikaruniai seorang putra.

Pada saat kemarau panjang melanda kampung mereka, sungai Amandit yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan mereka mengalami kekeringan. Hal ini membuat derita dan kesulitan yang luar biasa bagi orang yang hidup di kampung itu, sehingga memaksa Datu Makar dan Putri Bungsu mengembara untuk mencari sumber air lain. Dalam pengembaraannya pasutri ini membawa anak mereka, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya demi mendapatkan sumber air. Mereka terus mencari dan mencari, namun belum juga mendapatkannya, hingga akhirnya mereka sampai ke sebuah danau di tengah pegunungan yang juga kering di "TANAH ALAI" (Batang Alai kabupaten Hulu Sungai Tengah). Beberapa saat kemudian Putri Bungsu mendengar ada suara katak, sejenak ia berpikir, "biasanya katak hidupnya tidak bisa jauh dari air", lalu ia berkesimpulan bahwa dibalik permukaan lumpur dasar danau yang kering itu terdapat sumber mata air. Dia pun menyuruh suaminya untuk menggalinya. Dengan dibantu istrinya, Datu Makar mulai menggali dasar danau, sementara anak mereka dibiarkan bermain sendirian di bibir danau.
Di tengah mereka sibuk melakukan pekerjaannya, tiba-tiba air menyembur dengan dahsyatnya keluar dari tanah yang mereka gali. Dalam sekejap air memenuhi bahkan meluber dari danau tersebut hingga menyeret anak mereka yang sedang asik bermain di bibir danau. Datu Makar dan istrinya bergegas berusaha menolong anaknya yang menangis terseret air. Berbagai cara mereka dilakukan, namun usaha mereka selalu gagal, sang anak pun lenyap bersama derasnya arus air. Hal ini membuat keduanya menangis dan bersedih di tempat itu selama puluhan tahun.
*******
Sementara itu, anak mereka terus hanyut dibawa air, setiap kali kepala sang anak terbentur batu, maka tumbuh sebuah kepala baru, hingga akhirnya hanyut sampai ke laut sang anak memiliki tujuh buah kepala yang dalam bahasa setempat disebut "KAPALA PITU".
Puluhan tahun Kapala Pitu tinggal di tepi laut dan tidak pernah diketahui orang. Di sini ia melakukan pertapaan hingga ia mendapatkan kesaktian berupa air liur dan kata sumpah yang bisa merubah sesuatu menjadi batu.
Sampai suatu saat ia teringat akan orang tuanya dan berniat untuk mencarinya.
*******
Dia mulai berjalan kaki menaiki gunung untuk mencari kedua orang tuanya, hingga akhirnya ia sampai di sebuah kampung yang terletak di pinggir sungai. Di kampung ini berdiri sebuah "BALAI" (rumah adat besar Dayak Meratus yang dihuni beberapa kepala keluarga) yang salah satu penghuninya adalah SANG PIATU anak dari seorang perempuan miskin yang bernama RANGDA BALU. Setiap hari Sang Piatu bolak balik ke kota dengan menggunakan sebuah "BENAWA" (perahu berkepada naga khas suku Banjar) untuk menjual hasil kebun dan hutan yang kemudian uangnya digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari.
Kapala Pitu bertanya kepada Sang Piatu tentang siapa pemilik balai tersebut, Sang Piatu menjawab dengan angkuh, bahwa balai itu miliknya, mendengar jawaban itu, Kapala Pitu sangat marah karena merasa dibohongi oleh Sang Piatu si anak miskin , lalu ia meludahi dan mengutuk Sang Piatu, ibunya, benawa dan hewan peliharaannya menjadi batu. Yang di kemudian hari bernama : BATU LAKI, BATU BINI, BATU BENAWA, BATU HAYAM, BARU BABI dan lain-lain.

Masih dalam keadaan kesal dan marah, Kapala Pitu meneruskan perjalanannya, di tengah perjalanan ia bertemu dengan wanita hamil yang sedang mandi di sungai, ia pun lantas bertanya tentang orang tuanya. Wanita itu menjawab "tidak tahu", maka Kapala Pitu meludahinya lalu mengucapkan kata kutukan : "Pui !! Jadi batu !!". Maka wanita itu pun berubah menjadi batu, yang kemudian dikenal dengan nama BATU BATIAN.

Kapala Pitu terus berjalan, kali ini ia memasuki sebuah kampung yang banyak terdapat tumpukan tulang, lantaran penduduknya tewas semua akibat serangan wabah penyakit, kemudian ia meludahi tumpukan tulang itu dan menyihirnya menjadi batu, maka kampung itupun bernama "BATU TIMBUN TULANG".

Hingga akhirnya Kapala Pitu sampai ke sebuah kampung yang didiami oleh Datu Palui yang sebelumnya telah mendengar berita, bahwa ada orang sakti berkepala tujuh yang sedang mencari kedua orangtuanya, dan ia akan meludahi serta mengutuk siapa saja yang tidak bisa menunjukkan tempat keberadaan orangtuanya menjadi batu.
(Menurut masyarakat Dayak Meratus namanya bukan Datu Palui tapi Datu Ayuh/Dayuhan... entah kenapa orang Belanda menulisnya Datu Palui.
Dalam cerita ini saya menggunakan "DATU PALUI" karena itu teks aslinya).

Kapala Pitu memanggil-manggil penghuni kampung, namun tidak ada seorangpun yang menyahutnya. Sementara itu, Datu Palui mengintip gerak-gerik Kapala Pitu dari celah lobang dalam rumahnya.
Lantaran tidak ada jawaban, Kapala Pitu pun mulai meludahi rumah dan mengubahnya menjadi batu. Melihat hal ini, Datu Palui segera keluar rumah dan berlari sambil teriak memanggil Kapala Pitu. Ini untuk memancing agar Kapala Pitu mau mengikutinya sehingga kampungnya terhindar dari kehancuran karena kutukan Kapala Pitu. Dan usahanya pun berhasil.

Datu Palui terus berlari dalam kejaran Kapala Pitu mendatangi adiknya yang bernama Intingan yang tinggal di kampung lain untuk memberi tahukan kedatangan Kapala Pitu dan sekaligus untuk meminta bantuan dalam menghadapinya.
*******

Datu Palui dan Intingan lari ke dalam hutan sambil berpikir bagaimana cara yang tepat untuk membunuh Kapala Pitu ??
Awalnya mereka berdua menebang pohon Binuang besar, mereka berharap nantinya ketika pohon itu roboh menimpa Kapala Pitu, namun sebelum pohon itu tumbang, Kapala Pitu keburu datang dan meludahi mereka, tapi cepat-cepat keduanya menyekanya sebelum sempat Kapala Pitu mengucapkan kutukannya, sehingga mereka terhindar menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan terus berlari dari gunung ke gunung, dari hutan ke hutan untuk menghindar dari kejaran Kapala Pitu. Dalam sebuah hutan mereka bertemu dengan sebatang pohon Upas, lalu mereka bertanya padanya : "Seberapa dahsyat racun yang terkandung dalam getah pohonmu ?". Pohon Upas menjawab : "Getahku ini mampu membunuh orang dalam waktu 1 jam". Mereka pun mengambil getah pohonnya.
Kemudian mereka berpindah ke pohon-pohon lainnya dan selalu bertanya tentang kedahsyatan racunnya, ini mereka lakukan untuk mencari getah racun yang lebih cepat mematikan. Usaha mereka berhasil, mereka menemukan 2 macam getah pohon beracun, yang satu mampu membuat orang mati dalam 7 menit dan satunya lagi hanya dalam hitungan detik. Ketiga getah racun ini mereka kombinasikan menjadi satu, hingga menghasilkan ramuan racun yang sangat mematikan dan kemudian mereka oleskan pada anak sumpit

Datu Palui dan Intingan pergi ke danau tempat Putri Bungsu dan Datu Makar (orang tua Kapala Pitu) tinggal. Ternyata Kapala Pitu sudah ada di sana, ia menyatakan kepada Putri Bungsu dan Datu Makar kalau ia adalah anak mereka. Lantaran ia memiliki kepala tujuh, maka mereka berdua tidak mengenalinya. Hal ini membuat Kapala Pitu marah, hingga ia meludahi dan mengutuk kedua orang tuanya menjadi batu.

Datu Palui dan Intingan menghadang Kapala Pitu di sebuah jalan yang akan dilewati Kapala Pitu. Mereka bersembunyi di kedua sisi jalan dengan bersenjatakan sumpit. Tak lama kemudian, Kapala Pitu muncul sambil ketujuh kepalanya berbicara satu sama lainnya. Pada saat mulutnya terbuka, mereka menyumpitnya hinggal kedua anak sumpit yang telah diolesi getah racun itu masuk ke dalam mulut dan mengenai tenggorokannya. Kapala Pitu sempat meludah, namun beberapa detik kemudian ia roboh dan mati sebelum sempat melontarkan kata-kata kutukannya.... SEKIAN.
*******
Cerita ini disadur dari buletin "TROPISCH NEDERLAND" yang terbit pada tanggal 30 Juni 1930 dan diterjemahkan dengan "GOOGLE TERJEMAHAN".....

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Meratus, jasad Kapala Pitu kemudian berubah menjadi "Gunung Kapala Pitu".
Puncaknya berada di ketinggian 1474 meter dari permukaan laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar