Pesan Pangeran Antasari : " Lamun tanah banyu kita kahada handak dilincai urang .... Jangan bacakut papadaan kita "
(Kalau tidak ingin tanah air kita diobrak - abrik orang .... Jangan bertengkar, apalagi berantam sesama kita)
Tampilkan postingan dengan label EDISI MERATUS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EDISI MERATUS. Tampilkan semua postingan

ARUH BAKATUN

"ARUH BAKATUN"

Aruh BAKATUN adalah pesta pernikahan adat dalam masyarakat Dayak penganut agama KAHARINGAN yang tinggal di pegunungan Meratus Kalimantan Selatan. Pesta ini dilaksanakan di dalam balai adat dan biasanya pada malam hari. Ritual Aruh BAKATUN diawali dengan makan bersama para tamu yang hadir, setelah itu istirahat sebentar dan disambung lagi dengan acara "BARUJI" yang dilakukan oleh 2 orang kepercayaan, satu orang ditunjuk oleh pihak mempelai pria dan satu orang lagi oleh pihak mempelai wanita sebagai perwakilan masing-masing dan disaksikan oleh penghulu adat, para tamu dan keluarga kedua mempelai. Dalam BARUJI, baik calon penganten pria maupun calon penganten wanita keduanya tidak dihadirkan.


BARUJI dimulai dengan tawar menawar harga mahar dengan cara berpantun dan menggunakan "TAHIL". Oo.. ya tahil adalah kumpulan beberapa batang lidi yang diikat menjadi satu, tahil dipakai sebagai pengganti uang sementara dan memiliki besaran harga yang sebelumnya sudah disepakati oleh dua belah pihak, misalnya 1 tahil = 1 juta atau 10 juta.
Suasana saat BARUJI


Setelah selesai tawar menawar mahar, maka pihak mempelai pria wajib menyediakan uang tunai sebesar yang sudah disepakati dan penghulu akan menanyakan apakah kedua belah pihak mau menyerahkan perkaranya kepada hukum (setuju dan ikhlas). Apabila keduanya sudah menyerah pada hukum maka penghulu akan menjatuhkan vonis atau menetapkan hukum dan pernikahan pun dinyatakan sah.
menghitung uang mahar


Namun apabila dalam tawar menawar mahar tidak ada kesepakatan, maka penghulu adat akan mengambil kebijakan. Misalnya, pihak mempelai wanita ingin maharnya 20 juta, sementara pihak pria hanya sanggup 17 juta, maka penghulu akan membijaksanainya atas nama hukum adat dengan menetapkan harga mahar sebesar 18 juta misalnya. Kalau sudah demikian biasanya kedua belah pihak setuju dan menyerah pada hukum dan pernikahan pun dinyatakan sah.

Kemudian setelah pernikahan sah, maka uang mahar sebelum diserahkan kepada mempelai wanita, terlebih dahulu akan diambil dan dibagi sesuai peruntukannya oleh perwakilan mempelai wanita dalam BARUJI tadi.
Adapun pembagian uang mahar sesuai peruntukannya adalah sebagai berikut :

1. PACAH DARAH/DARA ialah uang penebus pecah bujang, uang ini diberikan khusus untuk penganten wanita, tidak boleh dipakai atau digunakan oleh siapa pun.

2. KABURUKAN TAPIH ialah uang untuk kedua orang tua penganten wanita, sebagai uang penebus kesusahan pada saat membesarkan penganten wanita.

3. BUBUT HUWAN ialah uang untuk kakek dan nenek penganten wanita, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

4. PANALITIAN ialah uang untuk keluarga penganten wanita, mulai dari saudara, paman hingga bibi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

5. PARMISI BALAI ialah uang untuk kemaslahatan balai adat seperti biaya kebersihan balai dan sebagainya.

Sebagai catatan, uang yang dibagi untuk kelima golongan ini bisa mencapai 20 % dari uang mahar.
Uang sisa dari pembagian di atas tadi dinamakan "DUIT HIDUP". Artinya apabila terjadi perceraian sebelum pasangan penganten melakukan hubungan suami-istri, maka "DUIT HIDUP" wajib dikembalikan ke pihak penganten pria dan ditambah dengan denda adat yang besarannya ditentukan dengan kebijaksanaan penghulu adat. Karena hal tersebut dianggap sebagai tindakan "MALUYA-LUYA" atau pelecehan.

Dalam BARUJI ini pihak mempelai pria juga menyerahkan "KAPALA MILIK" kepada pihak wanita. KAPALA MILIK adalah sebuah bungkusan yang biasanya berisi piring, uang dan sarung, ini merupakan bentuk permohonan pihak mempelai pria kepada pihak wanita agar mau memindahkan tanggung jawab dan hak asuh calon istri kepada calon suami.
Antara TAHIL, uang mahar dan KAPALA MILIK


Dengan berakhirnya pembagian uang mahar, maka acara "BARUJI" pun diakhiri dengan makan bersama.
Makan bersama setelah BARUJI selesai 


Selanjutnya ritual aruh BAKATUN disambung dengan menyandingkan kedua penganten di tikar pelaminan yang di depannya ditaruh sesaji berupa LAMANG, hewan sembelihan yang sudah dimasak, uang mahar yang dimasukkan ke dalam bungkusan KAPALA MILIK, minyak kelapa dan sebuah wadah dari kelopak mayang pinang yang berisi daun sirih, ceker ayam dan lain-lain.
Membawa kedua penganten dari PIN DALAM (bilik dalam balai adat) menuju tikar pelaminan




Sesaji dan persembahan
Sementara penganten asik bersanding, penghulu adat yang merangkap sebagai "BALIAN" akan "BAMAMANG" sambil "BATANDIK" dengan diiringi bunyi tabuhan GANDANG dan gemercik bunyi GALANG HIYANG di depan kedua penganten, ini tujuannya untuk memberkati, mendoakan dan memberi nasehat agar kedua penganten nantinya mendapat kebahagiaan, kesuksesan dan beroleh keturunan yang baik.

Ini video ritual BARUJI, BAMAMANG dan BATANDIK.
https://www.youtube.com/watch?v=4dNUtpDaTHc

Bersanding di tikar pelaminan


Aruh BAKATUN akan berakhir setelah penghulu adat menyisir rambut kedua penganten dengan menggunakan ceker ayam yang sebelumnya sudah dicelup ke dalam minyak kelapa.

Berikut ini adalah foto-foto yang terkait dengan ARUH BAKATUN :
Sebagian mantra yang diucapkan balian saat berdialog dengan penguasa alam :

Cuba sambut jujurannya
(mohon terima maharnya)

Cuba tulih sumbahannya
(mohon lihat persebahannya)

Langkap indum pangan riti
(lengkap semua makanannya)

Langkap pinggan uangnya
(Lengkap semua uang maharnya)

Langkap pinggan gantalnya
(lengkap hewan sembelihannya)






Sebagian mantra yang diucapkan balian saat berdialog dengan peguasa alam :

Jangan disangkal pun katun sumbang
(jangan ditolak persembahan penganten)

Apa katun langkap pun bajujuran
(sebab mereka kawin dengan mahar yang lengkap)

Langkap layin pinggan gantalnya
(lengkap pula dengan hewan sembelihannya)

Kira indungnya bisa manjuduhakan
(supaya orang tuanya bisa menjodohkannya)

Kira indungnya bisa mangatunakan
(supaya orang tuanya bisa menikahkannya)

Sebagian doa yang dipanjatkan balian :

Kira katun rasuk ing tunangnya ing bantalnya
(semoga kedua penganten seiya sekata dan tuntung pandang)

Kira ba ambak.. ambakan kira bagalangganan
(semoga tidak bertengkar sepanjang masa)

Jangan batulak sadihan.. jangan batunjuk pisauan
(semoga tidak sedih.. dan tidak saling berkelahi)

Kira diulah satangga sakatueunan
(semoga rumah tangganya memiliki keturunan)

Kira sabantal sakalambu
(semoga tidak bercerai)

Kira satikar sakaguringan
(semoga selalu akur)

Menyuapi kedua penganten dengan daun sirih
Catatan :
"BALIAN" adalah pemuka agama KAHARINGAN yang memimpin ritual-ritual adat suku Dayak di pegunungan Meratus.

"BAMAMANG" mengucapkan berbagai macam mantra, doa, petuah dan nasehat.

"BATANDIK" menari dengan diiringi bunyi tabuhan "GANDANG" dan gemercik bunyi "GALANG HIYANG". 
Dalam aruh BAWANANG (pesta panen) instrumen musik akan ditambah dengan KALIMPAT, GONG dan terkadang SERUNAI.
"GALANG HIYANG" adalah salah satu alat mediator balian untuk berhubungan dengan yang MAHA KAWASA (KUASA) dan roh-roh leluhur.


Keterangan :
Foto-foto ini dijepret pada saat aruh BAKATUN di balai adat MIYULAN desa HARUYAN DAYAK kecamatan HANTAKAN kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, pada malam Minggu tanggal 13 Februari 2016.
Balai Adat MIYULAN







EDISI MERATUS

"MAMANDUK"

Bagi masyarakat Dayak yang tinggal di pegunungan Meratus, bertani ladang atau "MANUGAL" -menurut bahasa setempat- merupakan pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Manugal bukanlah bertani di lahan berair seperti sawah, rawa atau lahan gambut, melainkan bertani di tanah kering seperti layaknya orang berladang atau berkebun. Pekerjaan ini sudah mereka lakoni turun temurun sejak dari nenek moyang mereka hingga sekarang.
Lahan yang sudah selesai dibakar, tinggal menunggu hujan untuk ditanami.
Lokasi : dusun Tamburasak desa Haruyan Dayak kecamatan Hantakan HST.




Dalam "manugal" ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan, salah satunya adalah "MAMANDUK" yang berarti "MEMBAKAR". Orang Dayak Meratus memiliki tata cara tersendiri dalam mamanduk dan tata cara ini wajib mereka patuhi.

Setelah menentukan lokasi  mana yang akan dijadikan lahan untuk manugal, prosesi mamanduk pun dimulai dari membersihkan lahan dari rumput dan semak belukar, menebang pohon, hingga membuat jarak pembatas dengan hutan atau kebun di sebelahnya, hal ini penting untuk menjaga api agar tidak membumbung tinggi dan tidak menjalar ke tempat lain.
Pembakaran tahap awal.
Lokasi : dusun Impun desa Haruyan Dayak Hantakan






"Julak Aban" memantau dan menjaga api selama pembakaran.

Kemudian limbah dari hasil membersihkan lahan tadi dibiarkan mengering secara alami, ini bisa memakan waktu 30 sampai 40 hari lamanya, tujuannya agar proses pembakaran nanti berjalan cepat dengan hasil yang sempurna. Selain itu, untuk meminimalisir asap hasil pembakaran agar tidak terlalu banyak. Menurut Julak Aban, seorang petani asal dusun Aruhuyan kecamatan Hantakan : "kalau dibakar ketika masih hijau atau segar, pasti apinya akan lambat menyala dan asapnya akan sangat banyak dan pekat".
Lahan yang telah mengalami pembakaran tahap awal, masih tersisa kayu-kayu besar.


Seorang petani asal desa Kundan Haruyan Dayak sedang bekerja mengumpulkan kayu-kayu besar sisa pembakaran awal untuk dibakar kembali.



Anak dan istri juga ikut membantu dalam prosesi "mamanduk".

Setelah masa pengeringan selesai, baru dibakar. Selama prosesi pembakaran berlangsung, api akan terus dipantau dan dijaga. Pembakaran bisa dilakukan beberapa kali, karena biasanya pada pembakaran awal masih tersisa batang pohon yang besar, selanjutnya sisa batang pohon yang belum habis terbakar tadi akan dipungut dan diletakkan di satu tempat untuk dibakar kembali hingga menjadi abu yang seterusnya akan dijadikan sebagai pupuk organik.
Sisa pembakaran tahap awal siap untuk dibakar kembali.



Pembakaran tahap kedua.

Lihatlah betapa cerdasnya mereka dalam mengelola alam. Inilah kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat Dayak di pegunungan Meratus hingga kini dan akan terus mereka ajarkan kepada generasi mereka berikutnya.