Catatan Perjalanan Seorang Pastur Di Kota Barabai Tahun 1861
Pastoor J.B. Palinckx, † 1 mei 1900 |
Namanya Pastur J.B. PALINCKX (1824-1900) adalah seorang misionaris bangsa Belanda. Beliau pernah datang ke Barabai pada masa sedang berkecamuknya "PERANG BANJAR" tanggal 7 Oktober 1861. Kunjungannya di kota Barabai sangat singkat, hanya sehari semalam. Selain untuk menjalankan amanat gereja, juga untuk memberi semangat kepada para tentara Belanda yang sedang berperang dan menghadiri pelaksanaan hukuman gantung bagi pejuang yang tertangkap saat melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Dalam buku "INDISCHE LETTEREN" sebuah buku yang berisikan kumpulan surat-surat orang Belanda yang pernah bertugas di nusantara, Pastur J.B. PALINCKX dalam suratnya bercerita :
"Sekitar pukul 8 pagi tanggal 7 Oktober 1861 kami berangkat dari Amuntai menuju Barabai ibukota Alai (sebutan daerah Barabai dan sekitarnya pada masa itu) dengan menggunakan beberapa perahu kecil. Bersama saya seorang auditor militer, petugas pajak, 2 orang letnan dan 20 orang bersenjata. Perjalanan kami menyusuri sungai ini sangat berbahaya karena berada di bawah bayang-bayang serangan musuh (para pejuang).
"Sekitar pukul 8 pagi tanggal 7 Oktober 1861 kami berangkat dari Amuntai menuju Barabai ibukota Alai (sebutan daerah Barabai dan sekitarnya pada masa itu) dengan menggunakan beberapa perahu kecil. Bersama saya seorang auditor militer, petugas pajak, 2 orang letnan dan 20 orang bersenjata. Perjalanan kami menyusuri sungai ini sangat berbahaya karena berada di bawah bayang-bayang serangan musuh (para pejuang).
Orang-orang pribumi (yang pro Belanda) yang ikut dengan kami sangat mahir mendayung perahu dengan menggunakan alat semacam sekop terbuat dari kayu, sehingga perahu yang kami tumpangi dengan cepat berlalu dari satu tempat ketempat lainnya.
Sekitar jam 4 sore, setelah melewati beberapa sungai, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Di tepi sungai kulihat ada "balė-balė" semacam bangku panjang dan lebar terbuat dari bambu yang bisa difungsikan sebagai tempat merebahkan diri. Aku beristirahat sejenak di situ. Ada sekitar 60an orang pribumi mengerumuniku, salah satu di antara mereka dengan ramah menawarkan kepadaku nasi dan kelapa muda. Tanpa menaruh curiga apa-apa, kuterima pemberiannya dengan perasaan senang. Namun tiba-tiba datang seorang tentara berpangkat letnan dengan menenteng pistol di tangan sambil berteriak : "jangan dimakan !!!". Mendengar teriakan itu orang-orang pribumi pun membubarkan diri, selanjutnya aku dijaga oleh satuan tentara.
Kemudian letnan tersebut memerintahkan kepada tentara untuk menembak siapa saja dari kaum pribumi yang berani melintasi garis penjagaan. Peringatan keras ini harus diberlakukan agar peristiwa sebelumnya tidak terulang lagi.
Lalu dikatakan kepadaku bahwa persahabatan, keramah-tamahan dan pemberian makanan hanyalah modus untuk membunuh. Beberapa hari yang lalu seorang kopral dan 4 orang lainnya mempercayai persahabatan dengan mereka, lantas mereka dirampok dan dibunuh.
Seseorang bercerita, pada bulan Maret yang lalu, ketika mereka mendengar ada patroli militer, mereka bergegas meletakkan racun pada buah di pohon yang sedang berbuah di sepanjang jalan yang akan dilalui, jika dalam 24 jam ada yang memakannya maka dia akan menjadi korban kematian, namun jika tidak, maka buah itu akan busuk dan hitam kemudian jatuh dari pohonnya. Hal yang sama mereka lakukan juga pada telor dan sayuran".
Sekitar jam 4 sore, setelah melewati beberapa sungai, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Di tepi sungai kulihat ada "balė-balė" semacam bangku panjang dan lebar terbuat dari bambu yang bisa difungsikan sebagai tempat merebahkan diri. Aku beristirahat sejenak di situ. Ada sekitar 60an orang pribumi mengerumuniku, salah satu di antara mereka dengan ramah menawarkan kepadaku nasi dan kelapa muda. Tanpa menaruh curiga apa-apa, kuterima pemberiannya dengan perasaan senang. Namun tiba-tiba datang seorang tentara berpangkat letnan dengan menenteng pistol di tangan sambil berteriak : "jangan dimakan !!!". Mendengar teriakan itu orang-orang pribumi pun membubarkan diri, selanjutnya aku dijaga oleh satuan tentara.
Kemudian letnan tersebut memerintahkan kepada tentara untuk menembak siapa saja dari kaum pribumi yang berani melintasi garis penjagaan. Peringatan keras ini harus diberlakukan agar peristiwa sebelumnya tidak terulang lagi.
Lalu dikatakan kepadaku bahwa persahabatan, keramah-tamahan dan pemberian makanan hanyalah modus untuk membunuh. Beberapa hari yang lalu seorang kopral dan 4 orang lainnya mempercayai persahabatan dengan mereka, lantas mereka dirampok dan dibunuh.
Seseorang bercerita, pada bulan Maret yang lalu, ketika mereka mendengar ada patroli militer, mereka bergegas meletakkan racun pada buah di pohon yang sedang berbuah di sepanjang jalan yang akan dilalui, jika dalam 24 jam ada yang memakannya maka dia akan menjadi korban kematian, namun jika tidak, maka buah itu akan busuk dan hitam kemudian jatuh dari pohonnya. Hal yang sama mereka lakukan juga pada telor dan sayuran".
Perjalanan menuju pedalaman telah ditempuh sejauh 350 km (Banjarmasin-Amuntai-Barabai), keindahan alam borneo sungguh memukau, namun semuanya itu terancam oleh semakin bertambahnya populasi penduduk.
"Sejauh ini kami hanya bisa menyaksikan secara dekat keindahan sungai dan vegetasi sekitarnya, sementara keindahan lainnya hanya bisa kami pandang dari kejauhan.
Dalam perjalanan, kami silih berganti melewati hutan aren, hutan rumbia, kebun jeruk, lada, cengkih, pala, pohon pinang dan kelapa yang tingginya antara 60 hingga 80 kaki. Dan tidak jarang pula kami melewati hamparan berbagai macam jenis semak belukar".
-----
Dalam perjalanan, kami silih berganti melewati hutan aren, hutan rumbia, kebun jeruk, lada, cengkih, pala, pohon pinang dan kelapa yang tingginya antara 60 hingga 80 kaki. Dan tidak jarang pula kami melewati hamparan berbagai macam jenis semak belukar".
-----
"Selama berada di kota Barabai aku menyempatkan diri mengunjungi orang sakit dan terluka untuk memberikan khotbah, kata-kata sugesti dan semangat.
Ketika malam semakin larut dan gelap, tiba-tiba terdengar suara kegaduhan, semua orang terkejut dan segera mengambil senjata mereka. Kami mengira benteng sedang diserang musuh. Sesaat kemudian, suasana mencekam itu berubah menjadi kegembiraan setelah tahu keributan tersebut berasal dari suara orang-orang yang kembali ke rumah setelah 30 hari melakukan patroli.
Sebelumnya aku tidak pernah melihat tentara seperti mereka. Mereka tidak memakai alas kaki atau sepatu, celana dan mantel mereka robek, sebagian bertopi dan sebagiannya lagi tidak, mereka gabungan antara orang eropa dan penduduk asli (orang Banjar) yang bertubuh kurus dan berkumis panjang, sehingga orang menyangka kalau mereka adalah penjahat yang kembali dari kerusuhan.
Sambutan komandan terasa hangat. Aku mendapat tempat di meja kehormatan. Aku ditawari menginap di sebuah kamar, namun aku menolak dan memilih rumah sakit sebagai tempat istirahat agar terhindar dari serangan nyamuk.
Pada keesokan harinya, tanggal 8 Oktober 1861 sekitar jam 6 pagi dilakukan pembaptisan terhadap anak-anak. Pukul 7, pelayanan kepada orang-orang sakit. Sementara itu, di alun-alun kota dilaksanakan hukuman gantung kemudian setelah mati lehernya akan dimutilasi atau istilah Belandanya "STRAFMUITELING". Rencananya ada 2 orang yang akan dieksekusi, namun yang terlaksana hanya satu orang.
Kemudian pada pukul 8, kami sudah siap untuk pulang ke Banjarmasin. Kami berangkat menggunakan 20 perahu menyusuri sungai melewati tepian sungai yang tinggi, lalu rawa-rawa yang penuh dengan rumput dimana nyamuk sangat mengganggu perjalanan kami sehingga akhirnya kami sampai di Negara pada pukul 4 sore. Di sana sudah menunggu kapten kapal "van Os" yang akan membawa kami menuju kota Banjarmasin".
Kemudian pada pukul 8, kami sudah siap untuk pulang ke Banjarmasin. Kami berangkat menggunakan 20 perahu menyusuri sungai melewati tepian sungai yang tinggi, lalu rawa-rawa yang penuh dengan rumput dimana nyamuk sangat mengganggu perjalanan kami sehingga akhirnya kami sampai di Negara pada pukul 4 sore. Di sana sudah menunggu kapten kapal "van Os" yang akan membawa kami menuju kota Banjarmasin".
------------
Sumber :
1. Buku "Indische Letteren"
Tijdschrift van de Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde.
2. Google Terjemahan.
Catatan :
Hukuman mati di masa kolonial Belanda biasanya dilaksanakan di alun-alun atau tempat ramai dan disaksikan oleh halayak ramai. Ini tujuannya untuk menakuti orang pribumi agar tidak melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Hukuman mati di masa kolonial Belanda biasanya dilaksanakan di alun-alun atau tempat ramai dan disaksikan oleh halayak ramai. Ini tujuannya untuk menakuti orang pribumi agar tidak melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar