SANATORIUM BARABAI
Di masa penjajahan Belanda, Barabai pernah memiliki sebuah sanatorium atau rumah sakit khusus untuk penderita penyakit jangka panjang, terutama tuberkulosis (TBC atau TB). Sanatorium tersebut terletak di puncak sebuah bukit kecil di desa Manggasang, tepatnya berada sekitar 125 meter di belakang Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) kecamatan Hantakan, kawasan ini sekarang menjadi perkebunan karet.
Seorang habib yang dikenal sebagai Kapten Arab (Kapitein der Arabieren), tokoh masyarakat dan juga anggota plaatselijke raad van de onderafdeeling Barabai (DPRD pada masa kolonial), yang bernama Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsyi menjadi tokoh sentral dalam proses pembangunan dan operasional sanatorium ini, beliau banyak menyumbangkan pikiran, tenaga dan harta benda. Beliau juga menjadi jembatan penghubung antara kepentingan pemerintah kolonial dan kesejahteraan warga pribumi.
Foto bersama Habib Alwi Al-Habsyi (nomor 6 dari kanan) dengan Controleur dan anggota dewan di depan gedung plaatselijke raad van de onderafdeeling Barabai. (Sumber foto : www.kitlv.nl) |
Sanatorium ini dahulu dikepalai oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman yang bernama JOE PICK (mohon koreksi kalau salah dalam mengeja nama) yang bekerja pada pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa gerombolan, sanatorium ini pernah dikuasai para gerombolan dan mereka merampas obat-obatan serta selimut pasien. Mendengar hal tersebut Habib Alwi langsung mendatangi dan berdialog dengan mereka dan mengatakan : "Sanatorium ini dibangun bukan atas nama golongan melainkan atas nama kemanusiaan. Coba kalian lihat kondisi pasien, kasihan mereka". Akhirnya para gerombolan menyerahkan kembali sanatorium tersebut kepada Habib Alwi.
Lain lagi cerita kakek Sanusi, beliau mengatakan : "Sanatorium tersebut terdiri dari dua buah bangunan yang berjejer, bangunan pertama berada di depan digunakan sebagai kantor dan tempat tinggal kepala sanatorium, sedangkan bangunan kedua yang berada di belakang berfungsi sebagai ruang pengobatan dan asrama inap pasien.
Dahulu ketika pertama kali dibangun para pasien mandi dan buang hajat di sungai yang berjarak sekitar 100 meter dari asrama inap dengan kondisi jalan yang turun-naik bukit, melihat keadaan demikian, warga setempat merasa kasihan dan mengusulkan kepada pemerintah Belanda lewat perantaraan habib Alwi agar membuatkan kamar mandi, kolam dan toilet dekat dengan asrama inap pasien dan permintaan tersebut disetujui oleh pemerintah Belanda.
Untuk mengisi kolam, pihak sanatorium mengambil air dari sungai dengan cara mengupah penduduk setempat".
Kakek Sanusi meneruskan ceritanya : "Dahulu apabila ada penduduk setempat yang sakit dan berobat di sanatorium ini, mereka tidak akan dipungut biaya alias gratis".
Sanatorium ini sudah lama hancur, meski demikian kita masih bisa melihat sisa-sisa reruntuhannya. Berikut ini adalah foto-foto reruntuhan bekas bangunan sanatorium tersebut :
Sanatorium dilihat dari jauh |
Fondasi bangunan pertama. Bangunan ini dahulu berfungsi sebagai kantor dan tempat tinggal kepala rumah sakit (sanatorium). |
Septic tank (mungkin) |
Lobang septic tank |
Kolam dan Septic tank. Untuk mengisi kolam ini, pihak sanatorium mengambil air dari sungai dengan cara mengupah penduduk setempat. |
Fondasi bangunan kedua yang merupakan ruang pengobatan dan asrama inap untuk pasien. |
Toilet (mungkin) |
Halaman sanatorium |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar