Pesan Pangeran Antasari : " Lamun tanah banyu kita kahada handak dilincai urang .... Jangan bacakut papadaan kita "
(Kalau tidak ingin tanah air kita diobrak - abrik orang .... Jangan bertengkar, apalagi berantam sesama kita)

Aruh Adat "BAWANANG" Dayak Meratus pada dekade 1920.

Pesta Panen Dayak Hinan Kanan.
Oleh : Dr. W. K. H. FEUILLETAU DE BRUYN.
Dayak Meratus saat turun gunung pada sekitar tahun 1927.

Ketika bertugas di Barabai, mendapat undangan untuk menghadiri sebuah  Aruh (pesta) di "BALAI PATIHA". Sebelum sampai ke balai yang dituju, perjalanan mesti melewati beberapa ladang milik orang Dayak, ada himbauan agar tidak menginjak batang padi supaya padi tidak roboh, sementara jalan setapak yang dilewat lebarnya hanya sekitar 1 meter. Hampir setiap ladang yang dilalui berdiri sebuah "BANDANG" (mungkin yang dimaksud bandang ini PAMATAAN-,penterjemah) yang terbuat dari kayu yang telah dihaluskan kulitnya kemudian dirangkai hingga menyerupai sebuah bangunan serta dihiasi dengan daun kelapa muda sebagai tempat untuk meletakkan sesaji untuk para Dewa, roh Datu Nini, roh alam dan Sangiang. Sesaji terdiri dari gunting, cermin dan tiga karangan bunga dari batang padi, ceker ayam dan bunga liar lainnya.

Di dalam balai yang dipenuhi orang, berdiri sebuah tiang dari batang bambu yang masih hijau yang disebut "TIHANG LAKI" dan sebuah tiang lagi yang lebih rendah dinamai "TIHANG BINI". Pada tihang bini digantung sarung dan perhiasan lainnya. Di bawah tihang laki diletakkan sebuah potongan kayu berdiameter antara 80 hingga 100 cm sebagai piring persembahan keluarga dan sebuah wadah dari tembaga yang berisi bundelan sirih, kapur dan sebagainya. Di tiang digantung beberapa "MAYANG" pohon pinang dan pada ujung-ujung mayang tersebut diletakkan potongan daging buah kelapa yang sudah diberi warna putih dan kuning. 

Pria dan wanita menari-nari sambil meloncat-loncat mengelilingi tiang, mereka menyebutnya "KRASMIN" (mungkin krasmin itu babangsai dan bakanjar-penterjemah). Sedangkan para Balian memakai celana pendek berwarna kuning saat menari sembari membaca doa dan mantra sambil mengelilingi tiang dalam kondisi tidak sadarkan diri (kerasukan). Masing-masing mereka memegang benda , salah satunya adalah mayang dari pohon pinang. Ada sebuah wadah yang dibungkus dengan "KAIN PUSAKA" berwarna putih, botol kecil berisi minyak dan 3 gulungan sirih yang diletakkan di antara nyala lilin khas Dayak. Selama menari, setiap Balian menyentuh bagian atas kepala orang yang berada di sekelilingnya sambil mulutnya kumat-kamit membaca mantra dan doa dengan menggunakan bahasa kuno leluhur mereka. Balian yang tidak sadarkan diri (karasukan) ini menjadi perantara bagi peserta aruh untuk melakukan permintaan kepada para leluhur mereka. Balian juga akan menjawab permintaan mereka sambii terus menari. Balian secara berurutan membacakan mantera dan doa seperti yang telah diajarkan oleh leluhur mereka dengan ditemani para peserta aruh yang hadir.

Pesta Aruh berlangsung empat hari dan selama waktu itu tidak dibolehkan memanen, menjual dan semua kegiatan yang berhubungan dengan berladang dianggap "PEMALI".

Catatan :
1. Nama lengkapnya adalah Willem Karel Hendrik Feuilletau de Bruyn (1886-1974). Beliau adalah seorang tentara KNIL dan penulis yang pernah bertugas di  Zuider en Ooster Afdeling van Borneo pada dekade 1920.
Dr. W. K. H. FEUILLETAU DE BRUYN

2. Diterjemahkan dengan menggunakan Google Translate.
Teks aslinya.

3. Diambil dari buku :
Koloniaal Tijdschrift 
UITGEGEVEN DOOR DE VEREENIGING VAN AMBTENAREN BIJ HET BINNENLANDSCH BESTUUR IN NEDERLANDSCH-INDIË.
Edisi 22 tahun 1933.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar